BATU nisan tua di Kompleks Pemakaman Umum Muslim Sinaraga
Bandung, Jawa Barat, itu tampak tenang dan membisu. Semilir angin
menambah sejuk suasana di Blok A TPU di kota berpenduduk sekitar dua
setengah juta jiwa tersebut. Rindangnya pohon di pojok makam seakan
melindungi jasad pahlawan di dalam kotak batu berukuran 2 x 1,8 meter
yang dikelilingi pagar hitam.
Di tempat itulah, Ir Soeratin Sosrosoegondo beristirahat dengan
tenang. Kisah hidup pendiri sekaligus Ketua Umum Persatuan Sepak Bola
Indonesia (PSSI) pertama itu memang penuh keprihatinan. Ia harus rela
hidup dalam kesulitan ekonomi hingga akhir hayat. Untuk menebus obat, ia
pun harus menelan ludah bulat-bulat. Tidak ada yang dia tinggalkan,
kecuali organisasi yang sangat dicintai, yakni PSSI. Organisasi besar
yang menjadi media perjuangan bangsa, tapi kini seolah menjadi ajang
politisasi para generasi pengurus yang tinggal mengunduh hasilnya.
Lahir di Yogyakarta pada 17 Desember 1898, Soeratin besar di
lingkungan terpelajar. Ayahnya, R Sosrosoegondo, yang juga penulis buku
Bausastra Bahasa Jawi, adalah guru pada Kweekschool. Istrinya, RA Srie
Woelan, adalah adik kandung dari salah satu pendiri Budi Utomo, Dr
Soetomo. Soeratin pun merintis pendidikannya dengan cukup serius.
Tamat dari Koningen Wihelmina School (KWS) di Jakarta pada 1920,
Soeratin melanjutkan pendidikannya di sekolah tinggi teknik di
Hecklenburg, Jerman. Tujuh tahun menimba ilmu di negeri seberang, ia
kemudian kembali ke Tanah Air dengan gelar insinyur sipil pada 1928.
Dengan gelar itu, karier Soeratin bisa dibilang cukup sukses karena
merupakan satu-satunya pribumi yang memiliki posisi tinggi dalam
perusahaan konstruksi milik Belanda, bernama Bouwkundig Bureu Sitsen en
Lausada di Yogyakarta. Digaji tinggi sebesar 1.000 gulden, ia juga
beberapa kali turut andil dalam membangun beberapa infrastruktur di
Nusantara, seperti membangun jembatan dan gedung di Tegal dan Bandung.
Berjuang
Soeratin juga rajin ikut berorganisasi. Dalam sejumlah pertemuan
dengan kelompok pemuda yang ingin mencari cara bebas dari belenggu
kolonial, ia dikenal sebagai sosok yang mempunyai nasionalisme tinggi.
Di tengah semangat Sumpah Pemuda yang menggelora, Soeratin berpikir
keras mencari cara menyatukan Nusantara yang sudah terpecah belah karena
taktik devide et impera milik Belanda.
Pada awal 1930, Soeratin akhirnya mempunyai gagasan cemerlang,
yaitu menggalang semangat nasionalisme dengan cara berbeda. Ia
berpendapat bahwa kehormatan bangsa bukan cuma urusan perang senjata
semata, tetapi juga bisa disalurkan melalui olahraga yang begitu digandrungi di Eropa, bernama sepak bola.
Atas dasar ide itulah, pada 19 April 1930, dibentuk Persatoean
Sepakraga Seloeroeh Indonesia (sekarang PSSI) sebagai realisasi konkret
Sumpah Pemuda. Di saat iparnya, Dr Soetomo, mengelilingi Pulau Jawa
untuk menekankan pentingnya pendidikan yang pada akhirnya menghasilkan berdirinya Budi Utomo, Soeratin juga melakukan pertemuan dengan sejumlah tokoh sepak bola pribumi di Solo, Yogyakarta, Magelang, Jakarta, dan Bandung.
Dalam kongres pertama di Societit Hadiprojo, Yogyakarta, yang
diikuti tujuh pengurus klub pribumi, di antaranya VIJ Jakarta
(Voetbalbond Indonesche Jakarta), BIVB Bandung (Bandoeng Inlandsche
Voetbal Bond), IVBM (Indonesche Voetbalbond Magelang), MVB (Makassar
Voetbal Bond), SIVB (Soerabhaiasche Indonesische Voetbal Bond), VVB
(Vorstenlandsche Voetbal Bond), dan PSIM (Yogyakarta), Soeratin ditunjuk
sebagai Ketua Umum pertama PSSI. Seiring perjalanannya, ia pun terus
dipilih menjadi ketua umum selama 11 kali berturut-turut hingga periode
1940.
Pilihan
Kegiatan mengurusi PSSI yang cukup sibuk dengan digulirkannya
beberapa kompetisi rutin sejak 1931, pada akhirnya membawa Soeratin pada
sebuah pilihan. Kinerjanya di perusahaan konstruksi milik Belanda
mengendur. Kondisi itu memang bukan situasi sederhana. Meninggalkan
pekerjaan tidak hanya membuat Soeratin kehilangan asupan finansial bagi
diri dan keluarganya, tetapi juga akan dapat berimbas pada pasokan dana
bagi kegiatan PSSI berkurang.
Namun, karena kecintaan pada sepak bola itulah Soeratin, yang memiliki
semangat nasionalisme yang tinggi, akhirnya bertaruh untuk memutuskan
keluar dari perusahaan tersebut dan lebih memilih mendirikan usaha
sederhana sendiri. Padahal, gajinya di perusahaan itu sangat besar dan
memantapkan posisinya sebagai priayi.
Di titik inilah, pertaruhan antara nasionalisme dan materi terjadi
dalam kehidupan Soeratin. Hanya satu yang jadi tujuan bagi Soeratin,
yakni agar Nusantara melalui sepak bola tak menjadi pecundang di antara
sejumlah negara besar di dunia.
Pilihan itu tepat, karena pada akhirnya Nusantara mampu berbicara
di tingkat dunia, melalui keikutsertaannya di Piala Dunia 1938 di
Perancis. Sejumlah negara seperti Jepang, China, Hongkong, hingga
dataran Korea pun bertekuk lutut oleh talenta Indonesia yang waktu itu
masih memakai nama East Indies. Nusantara kemudian dapat unjuk gigi di
pentas dunia, karena mampu menjadi pionir bagi Asia untuk mengenal sepak
bola.
Pada 1940, Soeratin pindah tugas ke kampung halamannya di Bandung
dan jabatannya sebagai Ketua PSSI diambil alih oleh Artono
Martosoewignyo. Ketika itu, kehidupan Soeratin menjadi serbasulit.
Rumahnya sempat diobrak-abrik tentara Belanda, karena aktif dalam
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dianggap musuh oleh Belanda.
Pengabdian Soeratin bagi bangsa pun masih besar di hari tuanya. Ia
menyanggupi permintaan Ir Djoeanda untuk memimpin Djawatan Kereta Api
(DKA) pada 1949. Akan tetapi, dengan tubuh yang semakin renta, pekerjaan
itu sedikit berat. Apalagi, ketika itu perjuangan fisik melawan Belanda
terus terjadi. Setelah sekian lama sakit dan tidak mampu menebus obat,
Soeratin meninggal dunia pada 1 Desember 1959 dalam kemiskinan.
Hidup tenang
Tahun ini, sudah 52 tahun Soeratin meninggalkan kita, dan selama 82 tahun juga PSSI telah menjadi bagian dari kehidupan sejarah
panjang Indonesia. Meskipun pada akhirnya, dewasa ini berbagai
persoalan dan konflik tidak kunjung berhenti menghinggapi salah satu
organisasi yang paling dicintai publik sepak bola tersebut. Perseteruan
PSSI dan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) seperti telah
membuat mati warisan sejarah emas delapan dekade silam.
Soeratin memang sempat meramalkan bahwa PSSI tidak pernah lepas
dari persoalan, karena setiap kepengurusan pasti mempunyai pandangannya
masing-masing. Tetapi, alangkah baiknya semangat persatuan dan kesatuan
harus tetap menjadi jati diri atau identitas PSSI. Alangkah bijaknya
jika kedua pengurus yang bertikai itu sadar bahwa sepak bola adalah
harga diri bangsa.
Soeratin tidak pernah meminta kekayaan meski harus mati dalam
kemiskinan. Tak pernah pula, Soeratin memproklamasikan diri sebagai
pahlawan. Ia hanya ingin memperjuangkan semangat puluhan juta pemuda
Nusantara demi meraih kewibawaan dan harga diri Indonesia. Ia ingin
memberi dan mengalirkan gagasan agar makna sesungguhnya dalam sepak bola
dapat jadi warisan emas bagi anak cucu bangsa.
Kini, di tengah kisruh dan kekacauan akibat ulah kedua pengurus
itu, Soeratin seakan menepi. Sudah sepantasnya sang pahlawan kini hidup
tenang oleh kedamaian karena tidak harus menjadi saksi hidup perseteruan
PSSI dan KPSI. Kesederhanaan dan jiwa nasionalismenya itu sepertinya
sudah cukup mewarisi kekalnya kisah indah sepak bola yang melahirkan
kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia.
Terima kasih Ir Soeratin. Semoga kebesaran PSSI bisa menyadarkan
sejumlah pengurus yang hanya mementingkan citra dan jabatan semata. Satu
hal pasti bahwa namamu akan tetap harum dalam makam yang kaya akan
sejarah emas sepak bola Indonesia.
Engkau memang sudah tiada. Tetapi, karyamu tetap menjadi inspirasi
dan semangat untuk mengangkat kebesaran bangsa lewat sepak bola. Sayang,
inspirasi dan warisan besar itu seolah dilupakan oleh pihak-pihak
bertikai di tubuh sepak bola saat ini dengan tujuan yang tak jelas
arahnya. Bagi mereka, warisanmu sudah mati, karena hati nurani mereka
juga sudah mati.
sumber : kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar